Segala sesuatu di dunia
itu berumur dan beregenerasi, itu sudah sunatullah. Begitu juga dalam
berorganisasi, logika tersebut pantas dan wajib menjadi dorongan dalam
berorganisasi. KAMMI yang lahir dari rahim tarbiyah dalam era reformasi memang
masih berumur muda, baru menginjak usia 14 tahun, kira-kira masih anak SMP-lah.
Umur yang muda ini
bukan berarti menjadi pembenaran bahwa kontribusi KAMMI belum sebesar gerakan
mahasiswa yang lain. Memang patut disadari persebaran alumni belum sebesar dan
sedalam gerakan lain, namun patut di catat KAMMI mempunyai catatan gemilang di
kampus-kampus ternama di Indonesia, bagaimana kader-kadernya mampu mewarnai
lewat lembaga-lembaga kampus.
Mewarnai kampus dan
mejadi leader di lembaga-lembaga kampus lantas bukan menjadikan KAMMI sukses
dan itu sebagai tujuan akhir. Tentunya KAMMI yang menjadikan Islam, Indonesia
dan Pemuda sebagai ruh gerakan menyadari bahwa gerakan menjadi berarti bila
rakyat benar-benar merasakan manfaatnya.
KAMMI saat ini sedang
membangun alur regenerasi yang membuat setiap kader dan alumni sadar akan
tanggungjawab dan perjuangan yang tidak berumur sebatas di kampus dengan status
mahasiswanya. Secara makro setiap kader dan alumni menyadari beban yang diemban
sebagai generasi muda muslim Indonesia yang diharapkan dan dilihat seluruh
dunia, tidak hanya oleh rakyat Indonesia semata.
Posisi strategis KAMMI
di Indonesia mudah dilihat dengan “berkiprahnya” kader-kader sebagai pimpinan
lembaga-lembaga kampus, yang artinya ada kepercayaan dari masyarakat kampus
akan kredibilitas dan integritas kader-kader KAMMI. Itu semua tidak boleh
membuat kader dan alumni berpuas diri. Masalah yang lebih penting adalah,
kemana kader-kader ini pasca kampus.
Secara psikologi kita
akan menemui begitu banyak aktivis yang juga didalamnya ada kader KAMMI
mengalami “kegalauan” mendalam dalam proses transisi kampus ke dunia nyata.
Mulai dari beban harapan orang tua untuk segera lulus dan mendapat kerja yang
mapan. Belum lagi godaan dari banyak kalangan yang lebih menggiurkan daripada
semata ngurusi “dakwah”. Lalu problem ini bagaimana mengatasinya? Jawabannya
tidak jauh dari sekitar kita, yaitu faktor kepemimpinan.
Kepemimpinan dimanapun
selalu menjadi masalah dan solusi, itu sudah rumusnya dari langit. Bila kita
melihat sejarah lebih dalam, faktor kepemimpinan selalu menjadi faktor utama
dalam pertempuran-pertempuran besar. Prancis mempunyai seoarang Richard The
Lion, Jerman punya Adolf Hitler, Uni Sovyet punya Lenin dan Stalin, Tiongkok
punya Mao Ze Dong, Yugoslavia punya Joseph Bros Tito dan Indonesia sempat
mempunyai pemimin yang disegani dunia, yaitu Soekarno.
Pemimpin yng hebat akan
membuat organisasinya itu dipandang tinggi oleh kawan maupun lawan. Sedikit
cerita tentang Bung Karno dengan Uni Sovyet. Terlepas dari sikap Bung Karno
terhadap ulama saat akhir-akhir priode orde lama yang cederung keras, beliau
mempunyai jasa yang patut dicatat oleh muslim Indonesia dan dunia.
Kita tahu bersama Bung
Karno sangat dekat dengan Uni Sovyet, terutama saat jaman Nikita Khrushchev.
Kedekatan tersebut semata untuk menjaga kedaulatan Indonesia yang sedang
berperang melawan Belanda di Papua, yang saat itu didukung penuh oleh sekutu.
Kita sendiri tahu bahwa Uni Sovyet adalah negara komunis totaliter, agama tidak
mendapatkan tempat sama sekali di negara tersebut, bahkan gereja-geraja Kristen
Ortodoks peninggalan Kekaisaran Tsar Nikholas pun tutup.
Hebatnya Soekarno yang
sangat dihormati oleh jajaran komintern (semacam majelis syuro) Partai Komunis
di Sovyet berani meminta 2 hal yang seharusnya mustahil disetujui oleh
Khruschev. Pertama, Soekarno meminta Sovyet mengijinkan sebuah masjid berdiri
di kota Moskow dekat dengan KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia), ternyata
Sovyet menyetujui permintaan tersebut, jadilah Masjid Biru sebagai satu-satunya
tempat ibadah resmi yang berdiri di Uni Sovyet. Kedua, Soekarno meminta Sovyet
untuk tidak menghancurkan makam Imam Bukhari yang ada di Uzbekistan yang saat
itu menjadi wilayah Sovyet. Sekali lagi Sovyet menyetjui permintaan Soekarno.
Dari peristiwa tersebut
kita dapat mengambil hikmah bahwa kepemimpinan mempunyai efek yang besar dalam
berjalannya organisasi ataupun negara. Lalu pertanyaan mendasar selanjutnya,
KAMMI sampai pada fase mana dalam menghasilkan pemimpin? Selama ini KAMMI
dikenal sebagai gerakan mahasiswa yang relatif adem ayem saat memasuki proses
pergantian kepengerusan, sangat berbeda dengan gerakan lain yang cenderung
hingar bingar dan selalu muncul konflik.
Selanjutnya muncul
pertanyaan, apakah suasana yang adem ayem ini juga menghasilkan pemimpin yang
berintegritas dan berkualitas di KAMMI? Lalu kita bisa mengkaitkan apakah
dinamisasi dalam sebuah oraganisasi dalam hal ini KAMMI akan membuat
kader-kadernya semakin dewasa, yang berujung pada stok pemimpin yang melimpah.
Ini masih menjadi pertanyaan besar, dimana KAMMI mempunyai kultur yang berbeda
dengan gerakan lainnya.
KAMMI di tingkat
nasional dinamisasinya sudah bukan rahasia lagi, namun di daerah dan wilayah
hal itu menurut penulis masih sangat kurang. Sekali lagi penulis sendiri masih sangat
subjektif dalam menganggap bahwa dinamisasi adalah bagian dari proses
menghasilkan pemimpin yang kredibel. Bagi penulis jaman kenabian bukan tanpa
dinamsasi, bahkan untuk berbeda pendapat dengan nabi Muhammad dalam hal
strategi pertempuran menjadi hal yang sangat biasa. Sebagai contoh saat Salman
Al Farisi memberikan ide tentang strategi di perang Khandaq, dengan membuat
parit dan disetujui.
Ide maupun visi muncul
dari pergumulan lama dalam ruang-ruang diskusi dan ruang-ruang publik, belum
lagi dalam proses pertemuan dengan jaringan. Seorang kader yang telah mapan
dalam menghadapi manusia dengan pikiran yang berbeda akan mempunyai filter yang
cukup bisa menyaring ide-ide mana yang berguna bagi KAMMI, bukan sebatas
berguna bagi dirinya sendiri.
Dari sini lalu kita
lihat, apakah lingkungan KAMMI saat ini sudah mampu menghasilkan suasana
dinamis yang konstruktif, tidak semata membangun rivalitas 2 tahunan saja. Ini
perlu di evaluasi, terlebih khusus untuk KAMMI Semarang.
Potret Semarang sebagai
ibukota Provinsi Jawa Tengah memang harus diakui masih tidak terlalu menarik di
mata orang luar. Hal ini berimbas sedikit banyak pada KAMMI Semarang yang
berdiam dan bergerak di dalamnya. Kultur yang tidak se-akademis kota
Yogyakarta, jaringan yang tidak sebanyak Ibukota Jakarta, kultur kreativitas
yang tidak sekental Bandung dan kultur Jawa yang tidak semantap Solo.
Jadi Semarang sebagai
kota ini disadari atau tidak memang serba tanggung, boleh dibilang serba
pas-pasan. Toh dengan berbagai kondisi Semarang saat ini, bukan berarti membuat
KAMMI Semarang seadanya saja dalam mengaktualisasikan gerakannya. Penulis
sebagai orang dalam juga menyadari bahwa berbagai kekurangan masih belum bisa
dibenahi, namun berbagai prestasi juga tak lantas boleh dilupakan begitu saja. Ya
itu biarlah orang luar yang menilai.
KAMMI Semarang ini
menarik dalam pandangan kawan-kawan KAMMI di luar Semarang. Disebut sebagai
KAMMI Merah, bukan hanya karena jaketnya yang merah, namun juga tantangan di
daerah yang oleh antropolog sosio-politik menyebutnya sebagai daerah abangan,
ya itu Semarang. Belum lagi Semarang sebagai kota kelahiran PKI (Partai Komunis
Indonesia). Jadi memang berliku dan rumit.
Tantangan tidak
berhenti dengan kondisi demografi yang kurang bersahabat. Tantangan bertambah
dengan kondisi mahasiswa dan masyarakat yang saat ini cenderung mengamini
budaya pop, sehingga kita lihat mahasiswa dalam 5 tahun terakhir kurang
berminat dengan gerakan mahasiswa dan isu politik maupun ekonomi nasional,
apalagi lokal-regional.
Tantangan masih ada
lagi, yaitu kultur dakwah (baca: tarbiyah) di Jawa Tengah yang menurut penulis
belum bisa sepenuhnya mengikuti mihwar antara Muasasi dan Dauli. Kecenderungan
untuk masih eksklusif dan konservatif masih mendominasi. Dalam proses
kaderisasi eksklusivitas dan konservatif memang menjadi kewajiban, namun dalam
konteks komunikasi dengan pihak luar dan membangun jaringan mennadi sebuah hal
berbeda, apalagi jika ingin melebarkan sayap untuk menjagkau kalangan islam
tradisional di pedesaan dan kota-kota pinggiran, akan pasti berbenturan.
Pemimpin seperti
penulis sampaikan di awal adalah solusi sekaligus menjadi masalah. Menjadi
masalah jika memang proses regenerasi selama ini berjalan lambat dan tak
mempunyai stok kader yang pantas menjadi suksesor KAMMI Semarang selanjutnya.
Menjadi solusi jika kenyataan berbicara sebaliknya dan ditambah dengan
kesusksesan dalam mengintegrasikan potensi-potensi kader dan jaringan yang ada.
Dalam hal ini penulis
ingin memberikan setidaknya 3 hal yang harus dipenuhi oleh calon ketua KAMMI
Semarang ke depan. Pertama, menguasai dan mengenal kondisi Semarang dan jawa
Tengah. Tidak cukup hanya kota Semarang, mengingat posisinya sebagai Ibu Kota
Jawa Tengah yang membuat setiap masalah dan isu menjadi sangat mudah naik
efeknya lebih meluas.
Semarang ini oleh
oarang-orang Jakarta dianggap sebagai kota yang relatif aman dan tidak banyak
hiruk pikuk, kenyataannya memang seperti itu. Namun satu hal patut dicatat,
suasan ini bukan tanpa bayaran mahal. Oleh banyak politisi dan cendekiawan,
Smearang ini disebut sebagai kota mafia kedua setelah Jakarta. Bukan hal yang
mudah “bermain” di kota yang penuh dengan intrik. Setidaknya kader-kader
mengetahui sejauh mana KAMMI bisa berperan di Semarang, tidak semata untuk cari
aman dan mereguk anggaran.
Kedua, setidaknya
dengan kondisi mahasiswa seperti saat ini, ketua terpilih ke depan berani
mengambil langkah-langkah strategis nan baru dalam pengelolaan kader. Bukan
berarti menyerah pada keadaan, namun menyesuaikan dengan kondisi yang ada.
“Visi tetap strategi berubah” mungkin sedikit bisa menggambarkan. Paling
kentara dalam hal proses rekruitmen dan kenaikan marhalah kader.
Dalam perekrutan ke
depan sekali lagi KAMMI Semarang harus lebih terbuka ke semua mahasiswa. Hal
ini sudah dilakukan dan KAMMI Semarang menjadi yang terdepan di Indonesia,
walalupun belum maksimal karena dinamisasi yang terjadi di internal maupun
eksternal KAMMI Semarang. Bagi penulis KAMMI harus berbeda dengan Rohis, KAMMI
harus bisa menghasilkan kader-kader militan dengan background non-ADS (Aktiivis
Dakwah Sekolah), artinya KAMMI memberikan sumbangsih besar, bukan semata
menjadi tempat parkir, namun menjadi manufaktur dan industri kader dakwah yang
mayoritas.
Dalam suasana bernegara
yang demokratis memang lebih diperlukan kader-kader yang melek politik dan
terbiasa melebur dengan masyarakat, ini yang memnjadi tantangan terberat KAMMI
dan para pemegang tampuk kepemimpinannya. Lebih berat lagi bagi ketua ke depan
adalah menyiapkan infrastruktur yang jelas bagi kader dan alumni kader KAMMI Semarang.
Permasalahan mendasar
selama ini adalah ketiadaan lembaga alumni bagi KAMMI. Konsekuensinya adalah
ketua ke depan harus mampu menyiapakan jaringan yang luas. Contoh paling mudah
adalah bagaimana menyiapkan jaringan beasiswa bagi kader-kader KAMMI yang
notabene adalah pembesar-pembesar kampus semasa mahasiswa. Menjadi beban beat
jika pasca kampus ini kader-kader tidak mendapat tempat selayaknya sebagai
aktivis di kampus. Ini belum selesai di KAMMI, di gerakan tetangga hal ini
sudah relatif teratasi. Jika masalah ini berlarut dan tidak kunjung mendapat
pehatian, maka jangan kaget bila loyalitas pasca kampus para kader akan sangat
minim.
Ketiga, karena KAMMI
lahir dari rahim dakwah, maka seyogyanya tidak melupakan ibu kandung, namun di
sisi lain juga KAMMI tidak boleh mendapatkan intervensi dan kekangan yang
membuat jalannya organisasi menjadi tidak sehat. Peran ketua dalam hal ini
menjadi sangat penting dalam melakukan komunikasi ke dalam. Menjaga kemurnian
dakwah di KAMMI bukan berarti menjadi organisasi yang kaku karena benturan
kepentingan dengan asatidz dakwah di Semarang. Hal yang perlu dilakukan adalah
komunikasi. Kedua pihak akan merasa saling dimanusiakan dan ini membuat KAMMI
bisa mengambil peran besar dalamperkembangan dakwah di Semarang dan Jawa
Tengah.
Sebaik-baik pemimpin
adalah yang bisa menyembunyikan keduniaannya dan memberikan semangat-inspirasi
yang luar biasa pada para kadernya di bawah. Dan hal tersebut tentunya kita
harapkan muncul pada diri pemimpin KAMMI Semarang ke depan, karena hari esok
harus lebih baik dari hari ini. Wallahu A’lam Bishawab....
*Tulisan ini dimuat dalam media KAMMI Semarang
- 10.42
- 1 Comments