Hoaks? Hadapi Dengan Kreasi Konten Positif
23.39
Hoaks (Hoax) menjadi kata-kata yang
sangat sering terdengar beberapa tahun terakhir. Menurut Merriam-Webster
Dictionary, hoax diartikan sebagai “to
trick into believing or accepting as genuine something false and often
preposterous”. Sedangkan menurut Cambridge Dictionary hoaks adalah “a plan to deceive someone”.
Kedua definisi diatas mempunyai
kesamaan, yaitu bahwa hoaks digunakan sebagai maksud untuk menipu, maupun
memanipulasi sehingga orang mendapatkan kesmpulan yang salah akan sebuah
peristiwa atau objek tertentu.
Sebenarnya hoaks tidak lahir dalam
waktu dekat ini. Karena kondisi politik yang hangat banyak pihak mengira hoaks
lahir karena adanya acara pemilihan umum mapu pilkada. Padahal hoaks sudah ada
jauh sebelum itu.
Kita lihat bagaimana dalam
persaingan bisnis makanan misalnya. Persaingan yang seharusnya fokus pada
kualitas produk melebar menjadi saling menjatuhkan. Dalam beberapa kasus bumbu
makanan, lawan diisukan memakai babi. Model grafis juga tak kalah, ada gambar
sebuah brand diisukan dibuat dengan proses yang tidak higienis.
Balas membalas dalam industri ini
sudah jamak ditemui, dan ini lebih dahulu dibanging hoaks terkait isu politik.
Hoaks terjadi di semua negara, relatif mustahil untuk menghilangkan sama
sekali.
Lalu bagaimana cara mengurangi
hoaks? Saya pribadi mempercayai langkah edukasi. Langkah edukasi sendiri bisa
dibagi menjadi dua, yaitu edukasi untuk tidak mudah percaya dan tidak mudah
menyebar ulang kabar hoaks. Lalu mendorong pada penguatan konten positif oleh
masyarakat sendiri.
Pendekatan hukum memang baik dan
wajib dilakukan. Namun bila tidak diimbangi dengan adanya kesadaran di
masyarakat akan sangat sulit. Pintu masuknya adalah masyarakat harus disibukkan
dengan proses produksi konten dan mengapresiasi konten dari masyarakat sendiri.
Masyarakat disorong untuk
memproduksi konten, bisa dari kondisi dan keunggulan di daerahnya, banyak tema
yang bisa diambil. Misalnya di Wonosobo, ada buah carica. Buah yang tidak ada
dan sulit hidup di daerah selain Wonosobo.
Warga disana bisa membuat tulisan
yang membedah sejarah dan penggunaan carica. Belum lagi dibuat menjadi grafis
dan video. Serta proses penjualan langsung lewat online. Ini bila berjalan akan
membuat masyarakat disibukkan dengan konten mereka, apalagi jika sudah
menghasilkan manfaat secara ekonomi.
Secara langsung, keberadaan konten
hoaks yang langsung sepi peminat dan memudahkan pemrintah untuk melakukan
edukasi toop-down. Namun juga harus diingat, proses ini harus disertai
masukanya kurikulum berinternet dan bermedia sosial yang sehat. Sebaiknay
kurikulum ini masuk sejak kelas 4 SD atau kelas 7 SMP.
0 comments